Desentralisasi Kesehatan Indonesia : a change without a change

Sejak diberlakukannya UU No.22/1999 dan UU No.25/1999, pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam mengelola pemerintahan. Kini, DPRD memiliki wewenang untuk memilih bupatinya sendiri secara langsung oleh rakyat, mengawasi jalnnya pemerintahan di daerah, dan merumuskan kebijakan-kebijakan penting pada ingkat kabupaten/kota. Berdasarkan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan dalam 6 bidang, yaitu politik luar negri, pertahanan, yustisi, moneter, dan agama. Selebihnya kewenangan urusan pemerintahan didesentralisasikan kepada pemerintah daerah.

Itu artinya, salah satu urusan terpentingnya yaitu bidang kesehatan masuk dalam urusan pemerintah daerah. Prinsip desentralisasi untuk bidang kesehatan ini diharapkan dapat lebih melakukan pendekatan kemasyarakatan. Pembangunan bidang pelayanan kesehatan haruslah sesuai dengan kebutuhan masyarakat di daerahnya. Dengan begitu pembangunan kesehatan daerah akan lebih optimal.

Dalam visi misi Departemen Kesehatan yang sekarang berubah menjadi Kementerian Kesehatan tahun 1999 disebutkan, desentralisasi bidang kesehatan diharapkan mampu mewujudkan Indonesia sehat 2010. Secara detail, visi itu ingin membangun generasi bangsa yang sehat dengan ditandai masyarakatnya yang hidup dalam lingkungan yang sehat. Tidak hanya itu, masyarakat juga mampu berperilaku hidup bersih dan sehat. Salah satu caranya masyarakat harus mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata.

Pada tahun ini desentralisasi sudah berjalan selama 10 tahun, namun rupanya realisasi visi misi yang dicanangkan Kementrian Kesehatan itu saat ini belum maksimal. Banyak berbagai aspek yang menyebabkan tersendatnya system ini, diantaranya adalah ketidaksinkronan antar keinginan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yang bisa dibilang pemerintahan pusat setengah hati menjalankan desentralisasi, sementara itu ada beberapa pemerintahan daerah belum siap untuk menjalankan desentralisasi.

Banyak pemerintah daerah masih bingung ketika diberi kewenangan begitu besar untuk menjalankan otonomi daerah. Kebingungan ini berimbas pada penyediaan pelayanan publik di beberapa daerah.  Ada beberapa pelayanan kesehatan yang ditempati oleh sumber daya manusia yang bukan kompeten di bidang kesehatan. Saat ini sekitar 30 % kabupaten tidak mempunya SDM yang cukup untuk pelaksanaan otonomi daerah. Sedangkan 70 % SDM yang ada tidak terlatih. Sehingga pusat harus mengirim SDM untuk membantu pelatihan.skema desentralisasi

Permasalahan lain adalah terkait dengan alokasi anggaran untuk kesehatan. Sebelum desentralisasi alokasi anggaran kesehatan dilakukan oleh pemerintah pusat dengan menggunakan model negosiasi ke propinsi-propinsi. Setelah desentralisasi kebijakan sektor kesehatan menghadapi apa yang disebut anggaran pembangunan melalui Dana Alokasi Umum (DAU) yang berbasis pada formula. Dalam formula ini pembagian alokasi anggaran tidak hanya ke propinsi melainkan sampai ke sekitar 400-an kabupaten/kota di Indonesia. Akibatnya ada yang mengejutkan di sektor kesehatan. Betapa tidak, secara implisit DAU kesehatan dianggap sudah termasuk dalam formula tersebut walaupun sebenarnya secara eksplisit tidak ada. Praktis sektor kesehatan harus berjuang di tiap propinsi dan kabupaten/kota untuk mendapatkan anggaran.

Sistem informasi kesehatan juga terpengaruh saat system desentralisasi dicanangkan. Dulu sebelum system desentralisasi, system informasi merupakan bagian dari program-program vertical.  Data penyakit menular dilaporkan ke direktorat di lingkungan Pemberantasan Penyakit Menular. Data pelayanan puskesmas dilaporkan ke Bina Kesehatan Masyarakat. Sedangkan data rumah sakit dilaporkan ke Pelayanan Medik. Survei-survei kesehatan yang memberikan informasi tentang demografi dan kesehatan komunitas dikelola oleh Badan Penelitian dan Pengembangan. Semua kabupaten mengirim data ke pusat secara regular, kemudian dari pusat menganalisis dan mempublikasikannya. Namun pada era desentralisasi perhatian terhadap pencatatan dan pelaporan bervariasi. Ada dinas kesehatan ti dtingkat kabupaten/kota yang merasa tidak perlu melaporkan data-data program kesehatan, statistic pelayanan, sosial dan demografi, dan hasil pengawasannya.

Masih banyak berbagai permasalahan desentralisasi di berbagai daerah. Saya berharap pemerintah dapat segera mengatasi berbagai kendala, yaitu diperlukan sinergitas saling dukung antar pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah agar tugasnya bisa berjalan dengan baik dan lancar. Meningkatkan jumlah tenaga kesehatan di tiap daerah secara merata agar dapat memajukan kesehatan di tiap daerah. Memperkuat system informasi dan surveilence di tiap daerah serta memotivasi kreativitas para petugas dalam sektor kesehatan di daerah untuk mengadopsi teknologi informasi serta upaya mereka untuk bekerjasama dengan institusi terkait (seperti Kantor Pengolah Data Elektronik) perlu ditindaklanjuti oleh Depkes dengan membuat aturan yang lebih inci dan mendalam dalam hal pemanfaatan teknologi informasi (informatika) dan pembinaan teknis kepada para petugas di daerah sehingga mampu mendukung sistem informasi kesehatan yang berfungsi optimal.

Bagaimana menurut pendapat anda? comments and critics are welcome 🙂

SOURCE :

http://www.mail-archive.com/desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com/msg01053.html

http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:W-aYakqdGP8J:desentralisasi-kesehatan.net/id/moduldhs/bahan_bacaan_umum/Bab%252010%2520Desentralisasidan%2520Sistem%2520Informasi%2520Kesehatan%2520Pusat,%2520Provinsi%2520dan%2520Kabupaten%2520Kota.pdf+desentralisasi+kesehatan+rumah+sakit&provinsi