Maraknya Malpraktek Kedokteran di Indonesia

Akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan dakwaan melakukan malpraktek makin meningkat dimana-mana, termasuk di negara kita. Ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran hukum masyarakat, dimana masyarakat lebih menyadari akan haknya. Disisi lain para dokter dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab. Seorang dokter hendaknya dapat menegakkan diagnosis dengan benar sesuai dengan prosedur, memberikan terapi dan melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, dan tindakan itu memang wajar dan diperlukan.

Malpraktik atau malpractice berasal dari kata ”mal” yang berarti buruk dan ”practice” yang berarti suatu tindakan atau praktik, dengan demikian malpraktek adalah suatu tindakan medis buruk yang dilakukan dokter dalam hubungannya dengan pasien. Menurut Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”. Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan juga berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan, perbankan, dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis menurut World Medical Association (1992) adalah: “medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.”

Selain pengertian diatas definisi lain dari malparaktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter pada waktu melakukan pekerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dilakukan oleh dokter pada umumnya didalam situasi dan kondisi yang sama (Berkhouwer & Vorsman, 1950), selain itu menurut Hoekema, 1981 malpraktik adalah setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter karena melakukan pekerjaan kedokteran dibawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau tempat yang sama, dan masih banyak lagi definisi tentang malparaktik yang telah dipublikasikan. Dalam tata hukum indonesia tidak dikenal istilah malpraktik, pada undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan disebut sebagai kesalahan atau kelalaian dokter sedangkan dalam undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran dikatakan sebagai pelanggaran disiplin dokter. Sehingga dari berbagai definisi malpraktik diatas dan dari kandungan hukum yang berlaku di indonesia dapat ditarik kesimpulan bahwa pegangan pokok untuk membuktikan malpraktik yakni dengan adanya kesalahan tindakan profesional yang dilakukan oleh seorang dokter ketika melakukan perawatan medik dan ada pihak lain yang dirugikan atas tindakan tersebut.

Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “De minimis noncurat lex,” yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele. Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminil.

Tolak ukur culpa lata adalah:

  1. Bertentangan dengan hukum
  2. Akibatnya dapat dibayangkan
  3. Akibatnya dapat dihindarkan
  4. Perbuatannya dapat dipersalahkan

Jadi malpraktek medik merupakan kelalaian yang berat dan pelayanan kedokteran di bawah standar.

Malpraktek medik murni (criminal malpractice) sebenarnya tidak banyak dijumpai. Misalnya melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya atau adanya dokter yang sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa indikasi medik, (appendektomi, histerektomi dan sebagainya), yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, jadi semata-mata untuk mengeruk keuntungan pribadi. Memang dalam masyarakat yang menjadi materialistis, hedonistis dan konsumtif, dimana kalangan dokter turut terimbas, malpraktek diatas dapat meluas.

Pasien/keluarga menaruh kepercayaan kepada dokter, karena:

  • Dokter mempunyai ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk menyembuhkan penyakit atau setidak-tidaknya meringankan penderitaan.
  • Dokter akan bertindak dengan hati-hati dan teliti
  • Dokter akan bertindak berdasarkan standar profesinya.

Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika:

  • Dokter kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum dikalangan profesi kedokteran
  • Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi (tidak lege artis)
  • Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati
  • Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum

Di Indonesia masih terdapat kesenjangan antara harapan pasien dan keluarganya dengan hasil terapi medis yang tidak sesuai dengan harapan, terkadang menimbulkan praduga bahwa dokter melakukan malapraktik.

Karena ketidaktahuan masyarakat pada umumnya tumbuh miskonsepsi yang menganggap bahwa setiap kegagalan praktek medis (misalnya hasil buruk atau tidak diharapkan selama dirawat di RS) sebagai akibat malpraktek medis atau akibat kelalaian medis. Padahal suatu hasil tidak diharapkan di bidang kedokteran sebenarnya dapat diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, diantaranya, dari suatu perjalanan penyakit yang tidak berhubungan dengan tindakan medis dilakukan dokter serta hasil dari suatu resiko berlebihan karena suatu kelalaian atau karena suatu kesengajaan.

Fenomena lainnya yang sering menimbulkan sengketa medik dikarenakan faktor penyedia jasa medik, dalam hal ini RS dan dokter. Bahkan banyaknya RS tidak diimbangi dengan ketersediaan tenaga kesehatan maupun dokter, sehingga seorang dokter praktik di satu rumah sakit kemudian praktik juga pada tempat lain dan kadang di klinik milik pribadi bahkan sering menimbulkan yang dinamakan “malapraktik” karena kurangnya ketersediaan waktu bagi dokter untuk belajar dan memahami ilmunya.

Berbagai kasus kelalaian praktek kedokteran yang dibawa ke meja hijau juga dapat menjerat dokter dengan gugatan perdata dan harus menghadapi proses yang berkepanjangan. Hal ini kemudian menjadikan profesi kedokteran menjadi berlebihan karena takut dituntut dan akibatnya biaya berobat akan dipikul pasien menjadi sangat mahal.

Dari berbagai penelitian disimpulkan bahwa koridor hukum antara hak-hak pasien dan hak-hak dokter perlu diperjelas, antara kasus yang tergolong malpraktik atau sengketa medik lainnya.
Demikian pula supaya pihak dokter semakin profesional dan ahli di bidangnya sehingga dapat memberikan pelayanan medis dengan tepat dan benar, maka di lain pihak juga perlu mengerti hak-haknya sehingga tidak serta merta membawa sengketa medik ke pengadilan.

 

SUMBER :

  1. Undang-undang Praktek Kedokteran
  2. Undang-undang Kesehatan
  3. Malpraktik Dokter, Dr. H. Hendrodjojo Soetomo, Nov. 2007
  4. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, M. Yusuf Hanafiah
  5. Malpraktek, Dr. Meivy Isnoviana , SH

Cara Menghitung Kapitasi

Kapitasi adalah metode pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan dimana pemberi pelayanan kesehatan (dokter atau rumah sakit) menerima sejumlah tetap penghasilan per peserta, per periode waktu (biasanya bulan), untuk pelayanan yang telah ditentukan per periode waktu (biasanya bulan), untuk pelayanan yang telah ditentukan per periode waktu.

Pembayaran bagi pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dengan Sistem Kapitasi adalah pembayaran yang dilakukan oleh suatu Lembaga kepada PPK atas jasa pelayanan kesehatan yang diberikan kepada anggota lembaga tersebut, yaitu dengan membayar di muka sejumlah dana sebesar perkalian anggota dengan satuan biaya (unit cost) tertentu.

Yang dimaksud dengan Lembaga diatas adalah Badan Penyelenggara JPKM (Bapel). Sedangkan yang dimaksud dengan Satuan Biaya (Unit Cost) adalah harga rata-rata pelayanan kesehatan perkapita (disebut juga Satuan Biaya Kapitasi) yang disepakati kedua belah pihak (PPK dan Lembaga) untuk diberlakukan dalam jangka waktu tertentu.

Dua hal pokok yang harus diperhatikan dalam menentukan kapitasi adalah akurasi prediksi angka utilisasi (penggunaan pelayanan kesehatan) dan penetapan biaya satuan. Besaran angka kapitasi ini sangat dipengaruhi oleh angka utilisasi pelayanan kesehatan dan jenis paket (benefit) asuransi kesehatan yang ditawarkan serta biaya satuan pelayanan.

Kapitasi = Angka utilisasi x Biaya satuan/unit cost

Angka utilisasi dapat diketahui dari berbagai laporan yang ada, umpamanya Susenas, atau dari Dinas Kesehatan setempat.

Angka utilisasi dipengaruhi oleh:

  1. Karakteristik Populasi
  2. Sifat Sistem Pelayanan
  3. Manfaat yang ditawarkan
  4. Kebijakan asuransi

Utilisasi adalah tingkat pemanfaatan fasilitas pelayanan yang dimiliki sebuah klinik/praktik.

Angkanya dinyatakan dalam persen (prosentase). Utilisasi merupakan jumlah kujungan per 100 orang di populasi tertentu (jumlah kunjungan/total populasi x 100%)

Utilisasi dapat memberikan gambaran tentang kualitas pelayanan dan risiko suatu populasi (angka kesakitan). Apabila utilisasi tinggi berarti menunjukkan kualitas pelayanan buruk atau derajat kesehatan peserta buruk.

Unit Cost adalah biaya rata-rata untuk setiap jenis pelayanan rata-rata pada kurun waktu tertentu. Unit Cost hanya dapat dihitung bila administrasi keuangan rapi (sistematis), sehingga dapat melihat pemasukan untuk setiap jenis pelayanan.

Unit cost = Jumlah pendapatan untuk setiap jenis pelayanan/jumlah kunjungan untuk pelayanan tersebut.

Unit cost identik dengan tarif atau harga jual (harga pokok ditambah margin) dapat memberikan gambaran tentang efisiensi pelayanan dan risiko biaya suatu populasi (beban biaya). Angka unit cost yang tinggi menunjukkan pelayanan tidak efisien atau populasi memiliki risiko biaya tinggi (banyak penyakit degeneratif). Hal ini penting untuk menghitung tarif atau kapitasi dan untuk mengontrol biaya dan ketaatan tim terhadap SOP yang telah disepakati.

Satuan biaya kapitasi ditetapkan berdasarkan perkiraan besarnya resiko gangguan kesehatan yang memerlukan pelayanan kesehatan di kalangan anggota lembaga pendanaan kesehatan tersebut dalam waktu tertentu.

Faktor-faktor yang menentukan satuan biaya kapitasi:

1. Bentuk-bentuk gangguan/masalah kesehatan yang umumnya dialami anggota beserta prevalensisnya.

2. Jenis-jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan untuk mengatasi gangguan kesehatan tersebut beserta tarifnya.

3. Tingkat penggunaan pelayanan kesehatan oleh anggota

Dari setiap pelayanan kesehatan, dihitung angka/biaya kapitasi dengan mengalikan angka utilisasi tersebut dengan satuan biaya riil (real cost). Jumlah dari semua angka kapitasi yang didapat menjadi angka kapitasi rata-rata per peserta per bulan. Secara umum rumus penghitungan kapitasi adalah sebagai berikut :

Angka kapitasi = angka utilisasi tahunan x biaya satuan : 12 bulan

= biaya per anggota per bulan (PAPB)

Contoh penetapan angka utilisasi dan angka kapitasi :

Dari laporan pemanfaatqn pelayanan kesehatan tahun yang lalu (experienced rate) dapat diketahui jumlah kunjungan rawat jalan peserta asuransi kesehatan ke PPK tingkat I sebanyak 12.443 kunjungan. Jumlah peserta 10.000 orang. Biaya dokter dan obat per kunjungan rata-rata Rp. 15.000,- (jasa dokter Rp.5.000,- dan biaya obat rata-rata Rp. 10.000,-). Maka berdasarkan rumus diatas, maka angka kapitasi per anggota per bulan (PAPB), adalah sebagai berikut :

PAPB = [( 12433 / Rp. 10.000 ) x Rp. 15.000 ] : 12 bulan = Rp. 1554,12

Pembayaran untuk Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) dihitung berdasarkan atas perhitungan biaya per kepala (per kapita) untuk pelayanan yang harus diberikan bagi setiap peserta dalam jangka waktu tertentu (biaya pelayanan kapitasi). Besarnya tarif pelayanan kesehatan disini merupakan hasil kesepakatan antara Bapel JPKM dengan PPK yang bersangkut.

Perhitungan pembayaran kapitasi yaitu : jumlah peserta dan keluarganya yang terdaftar sebagai peserta dikalikan dengan besarnya angka kapitasi untuk jenis pelayanan kesehatan yang diinginkan.

Pembayaran kapitasi = jumlah peserta x angka kapitasi

Contoh perhitungan pembayaran kapitasi :

Jumlah peserta 3000 orang dan biaya kapitasi rawat jalan TK I Rp. 1.569,94 Pembayaran kapitasi lewat jalan TK 1 adalah sebagai berikut

Pembayaran kapitasi = 3000 x Rp. 1.569,94 = Rp. 4.709,820/bulan.

Manfaat system Kapitasi :

  1. Ada jaminan tersedianya anggaran untuk pelayanan kesehatan yang akan diberikan
  2. Ada dorongan untuk merangsang perencanaan yang baik dalam pelayanan kesehatan, sehingga dapat dilakukan :
  • Pengendalian biaya pelayanan kesehatan per anggota
  • Pengendalian tingkat penggunaan pelayanan kesehatan
  • Efisiensi biaya dengan penyerasian upaya promotif-preventif dengan kuratif-rehabilitatif
  • Rangsangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu, efektif & efisien
  • Peningkatan pendapatan untuk PPK yang bermutu
  • Peningkatan kepuasan anggota yang akan menjamin tersedianya kesehatan masyarakat